Hari Bumi (Earth Day) tahun ini mestinya menjadi hari yang istimewa bagi kita orang-orang Indonesia. Konferensi tingkat dunia mengenai perubahan iklim (climate change) yang digelar di Bali Desember 2007 lalu semestinya menjadi pemicu semangat untuk lebih serius memperhatikan lingkungan tempat kita hidup.
Peringatan Hari Bumi sebagai sebuah gerakan bisa menjadi unpowerful bila tidak melibatkan sebanyak mungkin lapisan masyarakat dunia ini, tanpa kecuali. Selama kita masih mendiami planet ini, makan dan minum dari tanah dan air pertiwi ini, selama itulah kita mesti bertanggung jawab atas setiap perilaku yang berdampak padanya. Bukan besar atau kecilnya dampak perilaku itu, tetapi baik atau buruknya dampak perilaku kitalah yang patut diperhatikan. Besar-kecil adalah ukuran kuantitatif, sementara baik-buruk adalah ukuran kualitatif. Meskipun keduanya sama-sama penting, namun seringkali hal-hal menyangkut kualitas perilaku manusia kadangkala terabaikan. Apalagi ini jelas-jelas sebuah gerakan moral-etika terhadap ekosistem bumi (ekoetika) yang cakupannya begitu luas dan menyangkut rentang waktu yang tidak serta-merta. Tantangannya pun jelas: arogansi egoisme kita serta pola gaya hidup kita yang semakin konsumtif dan semakin dipacu oleh keinginan instan.
Sebagai sebuah gerakan moral perayaan Hari Bumi sebetulnya ingin memencet "tombol kehendak" dalam diri setiap orang. Kehendak atau keinginan akan menelorkan tindakan, dan tindakan akan membentuk perilaku yang berpola, dan akhirnya menjadi budaya. Selama seseorang tidak menghendaki sesuatu, tidak akan pernah ada tindakan sengaja dari dirinya untuk mewujudkan sesuatu itu, apalagi dengan tindakan yang terarah dan terencana.
Banyaknya iming-iming tentang gaya hidup hedonis, konsumtif dan instan sungguh menempatkan cara hidup ramah lingkungan yang penuh dengan askese sebagai pilihan yang tidak populer. Demikian pula sering sifat agresif kita terpancing: "Kalau tetangga kontrakanku saja boros memakai listrik, ngapain aku tidak melakukan hal yang sama? Kan adil!" Dalam skala internasional celetukannya bisa seperti ini, "Kalau negara-negara kaya saja dengan seenaknya membuang karbon ke atmosfir kita, ngapain kita negara-negara miskin harus menahan diri bahkan mengurangi emisi karbon dan tidak boleh menebang hutan kita sendiri? Nggak fair dong!" Tidak mengherankan bahwa gerakan etika lingkungan memasuki ruang percaturan politis para pemimpin dunia. Apalagi yang dibicarakan kalau bukan soal sharing tanggung jawab dan keadilan!
"Think globally, act locally" adalah salah satu slogan yang sering dihembuskan untuk mengajak masyarakat kita untuk memahami lebih dalam tentang dampak perilaku kita terhadap lingkungan global. Tidak peduli kita ini berada di sudud bumi yang mana, riak pengaruh perilaku kita akan sampai ke sisi lain planet ini. Dan memang, faktor pemahaman adalah dapur di belakang kehendak yang ingin dikondisikan oleh gerakan Hari Bumi ini. Pemahaman yang komprehensif mengenai lingkungan hidup diharapkan bisa membuka kesadaran kita akan dampak setiap perilaku kita bagi kelestarian bumi ini. Maka mari kita mulai mendidik perilaku kita sendiri, dimulai dengan memahami secara benar dampak-dampak yang mungkin ditimbulkannya sampai ke ujung dunia sana.
Siapa menjamin kelangsungan hidup generasi berikut di bumi ini? Pahamilah bahwa Tuhan mempercayakan bumi ini kepada kita, dan itu berarti kitalah yang paling bertanggung jawab atas nasib setiap generasi di planet bumi ini. [skd]
Peringatan Hari Bumi sebagai sebuah gerakan bisa menjadi unpowerful bila tidak melibatkan sebanyak mungkin lapisan masyarakat dunia ini, tanpa kecuali. Selama kita masih mendiami planet ini, makan dan minum dari tanah dan air pertiwi ini, selama itulah kita mesti bertanggung jawab atas setiap perilaku yang berdampak padanya. Bukan besar atau kecilnya dampak perilaku itu, tetapi baik atau buruknya dampak perilaku kitalah yang patut diperhatikan. Besar-kecil adalah ukuran kuantitatif, sementara baik-buruk adalah ukuran kualitatif. Meskipun keduanya sama-sama penting, namun seringkali hal-hal menyangkut kualitas perilaku manusia kadangkala terabaikan. Apalagi ini jelas-jelas sebuah gerakan moral-etika terhadap ekosistem bumi (ekoetika) yang cakupannya begitu luas dan menyangkut rentang waktu yang tidak serta-merta. Tantangannya pun jelas: arogansi egoisme kita serta pola gaya hidup kita yang semakin konsumtif dan semakin dipacu oleh keinginan instan.
Sebagai sebuah gerakan moral perayaan Hari Bumi sebetulnya ingin memencet "tombol kehendak" dalam diri setiap orang. Kehendak atau keinginan akan menelorkan tindakan, dan tindakan akan membentuk perilaku yang berpola, dan akhirnya menjadi budaya. Selama seseorang tidak menghendaki sesuatu, tidak akan pernah ada tindakan sengaja dari dirinya untuk mewujudkan sesuatu itu, apalagi dengan tindakan yang terarah dan terencana.
Banyaknya iming-iming tentang gaya hidup hedonis, konsumtif dan instan sungguh menempatkan cara hidup ramah lingkungan yang penuh dengan askese sebagai pilihan yang tidak populer. Demikian pula sering sifat agresif kita terpancing: "Kalau tetangga kontrakanku saja boros memakai listrik, ngapain aku tidak melakukan hal yang sama? Kan adil!" Dalam skala internasional celetukannya bisa seperti ini, "Kalau negara-negara kaya saja dengan seenaknya membuang karbon ke atmosfir kita, ngapain kita negara-negara miskin harus menahan diri bahkan mengurangi emisi karbon dan tidak boleh menebang hutan kita sendiri? Nggak fair dong!" Tidak mengherankan bahwa gerakan etika lingkungan memasuki ruang percaturan politis para pemimpin dunia. Apalagi yang dibicarakan kalau bukan soal sharing tanggung jawab dan keadilan!
"Think globally, act locally" adalah salah satu slogan yang sering dihembuskan untuk mengajak masyarakat kita untuk memahami lebih dalam tentang dampak perilaku kita terhadap lingkungan global. Tidak peduli kita ini berada di sudud bumi yang mana, riak pengaruh perilaku kita akan sampai ke sisi lain planet ini. Dan memang, faktor pemahaman adalah dapur di belakang kehendak yang ingin dikondisikan oleh gerakan Hari Bumi ini. Pemahaman yang komprehensif mengenai lingkungan hidup diharapkan bisa membuka kesadaran kita akan dampak setiap perilaku kita bagi kelestarian bumi ini. Maka mari kita mulai mendidik perilaku kita sendiri, dimulai dengan memahami secara benar dampak-dampak yang mungkin ditimbulkannya sampai ke ujung dunia sana.
Siapa menjamin kelangsungan hidup generasi berikut di bumi ini? Pahamilah bahwa Tuhan mempercayakan bumi ini kepada kita, dan itu berarti kitalah yang paling bertanggung jawab atas nasib setiap generasi di planet bumi ini. [skd]