Google
 

Thursday, April 17, 2008

Senyum dong, Sayang ...

"Nah... begitu dong, Jeng, senyum... Kan jadi beda itu wajah. Tambah manis gitu lhoooh...!" rayuku suatu ketika kepada istriku.

Waktu itu aku baru pulang kerja. Memang sih, aku terlambat, jam 20.00 WIB baru sampai rumah! Memang keterlaluan ya?! Kayak lupa kalau sudah punya istri yang menunggu di rumah dengan harap-harap cemas. Sadar kalau telad sampai rumah, aku sudah menduga kalau di wajah istriku sudah pasti tumbuh sungut, melengkapi jerawat yang sudah lama ngendon di sana (Eh, ndak boleh yaaaa... njelek-njelekin istri sendiri! Bagaimanapun dia tetep cuantik, apalagi kalau pas lagi marahan. Byuh... cantiknya sampai ga karuan! Hehehe...). Yang jelas aku harus minta maaf. Ndak salah kan, suami minta maaf?

"Sorry ya, Jeng, aku telad pulang. Pliiiisssss...!" pintaku disertai mimik memelas, tapi sambil senyum (hehehe... bisa mbayangin ga, memelas sambil senyum?).

Tapi betul, aku lebih suka milih senyum di saat-saat seperti itu. Paling tidak senyum pada diri sendiri. Karena aku yakin, dengan begitu secara mental pun diri ini sudah terseting oke duluan. Dan rasanya energi yang kulepaskan pun terasa lebih ringan daripada cemberut bersungut-sungut. Belum pernah sih aku menimbang bobot sungut, tapi jelas, seseknya sampai ke dada. Mental pun jadi apes duluan!

Aku pernah mengikuti sebuah pelatihan salesmanship singkat, sekitar tiga tahun lalu. Ternyata, modal awal yang paling menentukan kesuksesan seorang salesman bukanlah uang atau hal-hal yang muluk-muluk. Cukup pembawaan diri dan bersikap semanak (Jw.), bahasa londonya mungkin hospitality. Sebelum "menaklukkan" customer, terlebih dahulu seorang salesman harus bisa menaklukkan diri sendiri. Dalam kondisi sedih atau gembira, baru banyak utang atau saku sedang tebal, tak peduli! Seorang salesman harus menampilkan diri dalam kegembiraan. Lha, trus piye kalau kenyataannya tidak begitu gembira?! Apalagi kalau calon customernya galak!

"Pause!" begitu trainerku menyela bayangan-bayangan buruk yang sudah berderet di ubun-ubun ini.

"Anda harus memencet tombol 'pause' atau bahkan tombol 'stop' di kening ini! Hentikan 'self-talk' yang buruk itu! Sekarang Anda saya ajak untuk berlatih bagaimana caranya mengendalikan perasaan dengan gesture kita! Percaya nggak, kalau mental tan tubuh kita ini sebenarnya saling pengaruh-mempengaruhi? Kalau biasanya tubuh kita ini membahasakan mental kita, jadi tubuh dikendalikan oleh mental, sekarang coba dibalik: mental kita membahasakan tubuh ini! Bisa nggak?!"

"Piye kuwi?!"
"Lha, latihannya begini: Coba menghadap cermin. Kemudian senyumlah. Namun, bersamaan dengan itu pikirkanlah hal-hal sedih! Bisa?!"
Semua peserta mencobanya, meskipun tak ada yang bawa cermin. Aku juga. Sumprit! Gak bisa!

"Hehehe... Sekarang dibalik, buatlah kening wajahmu berkerut, tapi sekaligus bayangkanlah hal-hal terlucu yang pernah Anda alami! Bisa?!"

Lha mbok sampai kram, Pak! Mustahil!
"Sekarang, senyumlah dan sekaligus bayangkanlah hal-hal yang menyenangkan!"
Naaaah... yang ini nih!

Begitu. Sore itu bahan training yang pernah aku dapatkan itu aku praktekkan. Istriku sih agak jual mahal waktu aku rayu. Tapi, sekurang-kurangnya itu sungut yang di jidat jadi pudar... ***

No comments:

Post a Comment



© 2007 - sukandar_ag
You can use any posted subjects of this blog for any purposes with permission. Feel free to contact me by e-mail:
sukandar_ag@yahoo.com.